Diplomat Wanita, Keluarga, Emansipasi dan Selintas Sejarah Gedung Pancasila

Hari ini tepat dua bulan, Kami, Sekdilu 39 memasuki kehidupan sebagai calon Diplomat. Menjadi seorang Diplomat bukan suatu yang mentereng. Kami memulai semuanya dari nol. Kalau ada beberapa orang yang saya temui sempat menanyakan, "Habis berapa masuk di Kemlu?", saya jawab : "Lima juta aja, Bu...Ongkos kereta pulang pergi Jakarta- Jogja berulang-ulang." Prekrutan Aparat Sipil Negara (ASN) yang dilakukan Kementerian Luar Negeri (Kemlu) sangatlah ketat. Mulai dari nilai yang diraih semasa kuliah, kesehatan jiwa dan raga, kompetensi pengetahuan luar negeri hingga pembawaan seorang diplomat pun ditelaah dengan seksama. Tentunya semua proses bebas KKN. Hasil test langsung dapat dilihat ketika menggunakan Computer Assisted Test (CAT), peserta ujian adalah sekelompok nomor yang tidak diketahui siapa pemiliknya. Dengan proses yang begitu ketat ini, para calon diplomat yang terpilih memiliki kualitas untuk menjalankan profesi kami ini.

Rasa bangga yang luar biasa ketika terpilih datang bukan tanpa tantangan. Konon katanya, seorang Diplomat wanita memiliki tantangan tersendiri. Di masyarakat yang masih menganut paham Patriarki di mana lelaki diharapkan memimpin keluarga dan wanita tunduk padanya menjadi tantangan tersendiri seorang diplomat wanita. Tak jarang yang keluarganya berakhir di tengah jalan, tak sedikit pula yang memilih untuk tidak menikah. Banyak senior kami yang menyarankan untuk menikah dengan sesama Diplomat, karena Diplomat pria lebih memahami tantangan yang kami hadapi di lapangan. Di sisi lain, saya mendengar dari beberapa kakak senior yang menikah dengan lelaki non - diplomat dan suami-suami mereka menjadi Bapak Rumah Tangga. Salut untuk mereka. Tidak mudah di masyarakat Indonesia menjadi lelaki yang tinggal di rumah dan merawat anak.

Bulan pertama kami magang di Direktorat Diplomasi Publik (Diplik) membawa banyak pengalaman baru bagi saya. Pertamakalinya saya menginjakkan kaki di Gedung Pancasila. Gedung ini dulunya merupakan gedung wakil rakyat atau Volkstraad di mana BPUPKI menjadi bagian dalam sejarahnya. Ada hal yang menggelitik saya, adalah gerakan perempuan pada saat itu? Ternyata ada! Bahkan perempuan dari 1928 memiliki konggressnya sendiri. Berikut ini link ke halaman yang menulis tentang konggres perempuan. Di video di atas juga dapat dilihat keindahan di dalam gedung Pancasila. Kementerian luar negeri menerima kunjungan publik. Untuk mengajukan kunjungan dapat menuliskan email resmi ke kemlu : dit.diplik@gmail.com 

Sampai saat ini, para Ambassador wanita memberikan inspirasi bagi saya untuk melangkah di karir seorang Diplomat wanita. Salah satu Ambassador wanita yang saya temui adalah H.E. Enna E. Viant Valdes dari Cuba. 
Bayangkan saja, dengan sanksi ekonomi dari Amerika, negaranya berada dalam posisi yang sulit. "Bagaimanakah kami dapat menjalankan sebuah kedutaan jika kami tidak diperkenankan membuka akun bank", kata Madam Ambassador Enna.

Saya sendiri mencoba melihat bahwa setiap individu harus diperlakukan secara adil dan diakomodasi hak - haknya. Bahwa setiap paham politik memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. 



Saat ini, posisi wanita di masyarakat jauh lebih baik dari era perjuangan. Semoga semakin banyak wanita yang meraih impiannya dan mendapatkan pasangan yang mendukungnya dalam perjalanan karirnya.

cheers!



Komentar

  1. Keep on writing Tha. Inspiring story for our women comrades in K39 :)

    BalasHapus
  2. Thank you, Koko Mike. Everyone is number one :D

    BalasHapus

Posting Komentar